Gagal Dulu, Baru Tahu Jalan

“Mentor terbaik bukanlah yang paling sukses, tapi yang paling jujur tentang kegagalannya.”

LIFE LONG LEARNING

Jenni Maria

11/11/20253 min baca

Bukan gagal kecil yang bisa ditutup dengan senyum, tetapi gagal yang membuatmu bengong menatap langit-langit kamar sambil berpikir,“Ini sebenarnya hidup… atau plot twist tak berkesudahan?” Saya pernah berada di titik itu. Di tengah rasa malu, lelah dan bingung, saya sempat bertanya: “Apa gunanya belajar, kalau pada akhirnya tetap jatuh?”

Dan tentu saja hidup menjawab dengan gaya khasnya: diam saja, lalu memberikan kejutan-kejutan kecil yang membuat saya sadar, “Oh… jadi ini maksudnya?”

Pelajaran paling penting ternyata datang bukan dari kelas mahal, tetapi dari momen saat kita benar-benar kehilangan arah dan harus belajar memasang Google Maps versi hati untuk berjalan lagi.

Setiap generasi punya definisi gagal. Gen X mungkin menyebutnya “memulai dari nol lagi.” Gen Z menyebutnya “aku perlu healing dulu.” Yang Millennials? Ya… kita biasanya sambil ngopi dulu sebelum mengambil keputusan besar. Tapi esensinya sama: kita semua pernah jatuh bahkan kadang gaya jatuhnya dramatis.

John C. Maxwell bilang kegagalan adalah harga untuk pertumbuhan. Einstein bilang tidak pernah salah berarti tidak pernah mencoba hal baru. Dan motivator Indonesia bilang “Kegagalan adalah guru yang menyamar.” Sejujurnya, kadang gurunya kepo sekali… muncul terus setiap tahun.

Kadang tersesat justru membawa kita ke arah yang tak pernah terpikirkan. Dari takut jadi berani. Dari bingung jadi belajar. Dari drama jadi data. Dan akhirnya kita sadar bahwa: gagal yang sesungguhnya bukan saat kita jatuh, tetapi saat kita menyerah bahkan sebelum mencoba.

Jack Ma bilang, “If you don’t give up, you still have a chance.” Kalimat yang cocok sekali untuk ditempel di kulkas bersamaan dengan tempelan menu masakan setiap minggu dan jadwal pengangkutan sampah rumah tangga. Setiap langkah kecil mengandung pelajaran besar meski kadang pelajarannya baru terasa setelah kita berhenti panik.

Bahkan tokoh-tokoh luar biasa yang sering kita kagumi juga pernah merasakan kegagalan level “ingin resign dari hidup dulu.” Charles Dickens bekerja di pabrik saat kecil. Florence Nightingale ditentang keluarganya. Thomas Edison gagal ribuan kali (sepertinya dia sabarnya unlimited). Nelson Mandela dipenjara 27 tahun. J.K. Rowling ditolak banyak penerbit. Steve Jobs dipecat dari Apple (iya, dari perusahaannya sendiri).

Oprah Winfrey dianggap tidak cocok untuk TV (salah besar!). Jack Ma ditolak kerja berkali-kali. Dari Asia & Indonesia: Soichiro Honda ditolak Toyota sebelum mendirikan Honda. Tan Hooi Ling diremehkan investor (sekarang? semua tahu Grab). Chairul Tanjung gagal membuka banyak usaha kecil. Najwa Shihab menghadapi tekanan besar dalam dunia media.

Mereka semua punya satu kesamaan: Mereka pernah gagal. Mereka hampir menyerah. Tapi mereka memutuskan untuk lanjut. Dan ternyata, itu kunci kemenangan mereka. Kadang “zonk” adalah bab pertama dari kesuksesan. Dan sayapun pernah mengalaminya.

Saya tidak akan bercerita detailnya. Cukuplah saya bilang: ada masa ketika hidup saya terasa seperti koneksi WiFi lemahnyala, mati, tersendat, tiba-tiba hilang. Ada saat ketika saya merasa retak. Tapi dari retakan itu, saya belajar menyusun ulang diri pelan, jujur dan lebih hati-hati.

Saya juga belajar bahwa keberanian tidak selalu muncul dalam bentuk perubahan besar. Kadang bentuknya sesederhana membuka mata di pagi hari dan berkata: “Oke. Hari ini aku coba lagi. Pelan-pelan juga nggak apa-apa.” Dan ternyata langkah-langkah kecil itu cukup kuat untuk membawa saya sampai di titik sekarang lebih tenang, lebih sadar dan lebih kuat.

Orang yang bangkit setelah gagal bukan orang lemah. Mereka adalah pembelajar sejati yang tahu kapan harus refleksi, kapan harus bergerak, dan kapan harus istirahat tanpa merasa bersalah. Brené Brown bilang: “Vulnerability is the birthplace of innovation, creativity and change.” Kerentanan bukan kelemahan; Itu seperti membuka jendela—kadang anginnya pelan, kadang kencang. tapi selalu membawa udara baru.

Saya suka satu pepatah ini: “Mentor terbaik bukan yang paling sukses, tapi yang paling jujur tentang kegagalannya.” Seorang mentor bukan bos spiritual atau pelatih hidup penuh perintah. Ia adalah seseorang yang berkata, “Aku juga pernah jatuh. Yuk, kita cari jalannya sama-sama.”

Karena kebenarannya sederhana: Tidak ada yang harus dijalani sendirian. Tidak belajar sendirian. Tidak bangkit sendirian. Dan tidak melanjutkan hidup sendirian.

Bagian I: Pernahkah kamu merasa gagal total?

Bagian II: Gagal Bukan Akhir—Gagal Adalah Awal (Walau Awalnya Kesal)

Bagian III: Tokoh Besar Pun Pernah “Zonk”

Bagian IV : Belajar Tak Selalu Sendirian